Mencintai Indonesia di Tengah Rumah yang Dijarah

2 hari lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
AKSI DEMO 29 AGUSTUS DI DPRD JAWA BARAT, KOTA BANDUNG
Iklan

penjarahan yang terjadi di rumah pejabat publik sebagai simbol krisis kepercayaan rakyat terhadap elite.

“Jangan pernah lelah mencintai Indonesia.” Ungkapan Menteri Keuangan Sri Mulyani pasca penjarahan rumahnya bukan sekadar emosi, melainkan deklarasi mantap seorang teknokrat yang tetap berdiri teguh di tengah amarah publik. Pernyataan itu juga menjadi simbol: mencintai negeri ini berarti tetap setia meski hati terluka.

Penjarahan tak hanya menimpa rumah Sri Mulyani, tetapi juga dialami -warga elite lainnya. Seperti yang dilaporkan, rumah Eko Patrio dijarah dalam tiga gelombang oleh massa yang menyerbu hingga ke dalam dan mengangkut berbagai perabot rumah tangga—termasuk kursi, lampu, koper, bahkan kucing peliharaannya (news.detik.com).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kejadian serupa dialami oleh Ahmad Sahroni, di mana seluruh isi rumahnya dirampas massa—dari kulkas hingga ijazah dan KK turut dicuri 

Aparat dan Politik Simbolik: Merespons atau Membiarkan?

Wakil Panglima TNI, Jenderal Tandyo Budi Revita, menyatakan bahwa TNI baru turun setelah diminta secara resmi dan selalu berada di belakang Polri. Respons yang terkesan lambat ini menunjukkan bahwa kekerasan massa bukan hanya soal spontanitas, tapi terkait legitimasi penindakan oleh negara.

Dari sudut lain, Presiden Prabowo Subianto segera mengumumkan pencabutan tunjangan DPR dan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri, merespons amarah publik dengan gestur korektif (Namun gestur simbolis semacam ini bisa saja jadi topeng jika tidak diikuti perbaikan struktural lebih mendalam.

Dalam pernyataan resminya di Istana, Minggu (31/8), Presiden Prabowo menegaskan: “Pemerintah akan merespons aspirasi rakyat secara bijak dan terbuka. DPR RI akan mencabut sejumlah kebijakan bagi anggotanya, termasuk besaran tunjangan dan kunjungan kerja ke luar negeri. Langkah ini diambil demi meredakan keresahan masyarakat dan membangun kembali kepercayaan.

Dari perspektif akademik, langkah Prabowo ini dapat dipahami dalam kerangka teori legitimasi politik (political legitimacy theory). Menurut David Beetham dalam bukunya The Legitimation of Power (1991), legitimasi tidak hanya ditopang oleh legalitas formal, tetapi juga oleh keyakinan masyarakat bahwa kekuasaan dijalankan secara adil dan sesuai dengan nilai bersama. Maka, kebijakan penghapusan tunjangan dan pembatasan perjalanan luar negeri anggota DPR bisa dipandang sebagai upaya restorasi legitimasi negara di mata publik.

Selain itu, dalam kajian governance, tindakan korektif ini selaras dengan konsep responsive governance, di mana pemerintah tidak sekadar menjalankan regulasi, tetapi juga merespons aspirasi rakyat secara adaptif. Namun, secara akademik pula dapat dikritisi bahwa kebijakan simbolis saja tidak cukup bila tidak diiringi reformasi institusional yang lebih struktural, sebagaimana ditegaskan oleh Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014).

Secara akademik, ini menandai bahwa respons politik terhadap penjarahan tidak bisa dilihat sebatas gejala kriminal, melainkan refleksi dari krisis kepercayaan. Dalam teori gerakan sosial, seperti yang dijelaskan Sidney Tarrow dalam Power in Movement (1998), aksi massa seperti penjarahan bisa muncul ketika saluran politik formal tidak lagi dipercaya. Dengan demikian, konteks akademik menempatkan penjarahan rumah elite sebagai manifestasi radikalisasi aspirasi publik yang kehilangan ruang representasi sah.

Refleksi Moral: Ketika Simbol Negara Dihancurkan Rakyat

Penjarahan rumah pejabat mencerminkan krisis legitimasi: rakyat tak lagi menganggap simbol kekuasaan sebagai pelindung, melainkan justru sebagai penyebab luka. Perangat negara, termasuk properti pejabat, yang mestinya menghormati rakyat, berubah menjadi sisa-sisa kemarahan yang dialamatkan langsung.

Prof. Mahfud MD selalu mengingatkan bahwa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan adalah pengkhianatan konstitusi. Kini, rakyat telah “mengadili” langsung simbol negara—ini bukan lagi soal hukum, tetapi soal moral dan kepercayaan yang runtuh.

Secara akademik, krisis ini dapat dijelaskan melalui teori kontrak sosial. Menurut John Locke dalam Two Treatises of Government (1689), negara hanya memiliki legitimasi selama mampu melindungi hak-hak dasar rakyat. Ketika perlindungan itu gagal, rakyat merasa berhak mengekspresikan perlawanan. Dalam kasus penjarahan rumah pejabat, rakyat seolah menegaskan bahwa kontrak sosial telah dilanggar.

Lebih jauh, Emile Durkheim dalam The Division of Labour in Society (1893) menekankan pentingnya solidaritas sosial sebagai perekat kehidupan kolektif. Penjarahan massal menunjukkan lunturnya solidaritas tersebut, digantikan oleh anomi—suatu keadaan tanpa norma—di mana aturan hukum tak lagi dihormati. Fenomena ini menandai kegagalan institusi dalam mempertahankan keteraturan sosial.

Selain itu, dari perspektif teori demokrasi partisipatoris yang digagas Carole Pateman (Participation and Democratic Theory, 1970), penjarahan ini bisa dibaca sebagai ekspresi dari keterputusan rakyat terhadap kanal partisipasi formal. Ketika suara rakyat tidak didengar melalui jalur resmi, maka jalan non-formal, bahkan destruktif, menjadi pilihan. Dengan kata lain, tindakan anarkis ini mencerminkan krisis representasi politik.

Secara keseluruhan, analisis akademik menempatkan peristiwa ini bukan sekadar kriminalitas spontan, tetapi sebuah gejala sosiopolitik yang mendesak perlunya rekonstruksi hubungan negara-rakyat yang lebih sehat dan berkeadilan.

Ketimpangan Cinta yang Terkuak

Cinta yang retak ini pada dasarnya menunjukkan ada jurang yang semakin melebar antara rakyat dan elite. Bagi rakyat, rumah pejabat yang dijarah bukan sekadar bangunan pribadi, melainkan simbol dari kekuasaan yang dianggap menutup mata atas penderitaan mereka. Tindakan massa bisa jadi keliru secara hukum, tetapi ia menyimpan pesan politik yang keras: kepercayaan sudah habis.

Di sisi lain, elite yang kehilangan rumah dan harta benda mungkin merasakan betul bagaimana rasanya menjadi korban. Ironisnya, pengalaman ini justru bisa menjadi titik balik: para pejabat kini merasakan sebagian kecil dari ketidakamanan, ketidakpastian, dan ketidakadilan yang kerap dialami rakyat kecil. Jika refleksi ini benar-benar diinternalisasi, maka krisis ini bisa melahirkan empati baru di kalangan elite.

Namun, empati saja tidak cukup. Cinta pada Indonesia harus diukur melalui keberanian mereformasi institusi yang cacat, bukan hanya sekadar gestur simbolis yang menenangkan publik sesaat. Pencabutan tunjangan DPR oleh Prabowo patut diapresiasi, tetapi tetap harus dikawal agar tidak berhenti sebagai gimmick politik.

Mencintai Indonesia di tengah rumah yang dijarah berarti berani mengakui luka, berani menata ulang relasi negara dan rakyat, serta berani mengembalikan martabat konstitusi yang selama ini dikhianati. Seperti kata Mahfud MD, pengkhianatan konstitusi adalah dosa terbesar elite. Maka, membuktikan cinta sejati pada negeri ini berarti memastikan pengkhianatan itu tidak lagi terulang.

Rekonsiliasi melalui Cinta, Bukan Kekerasan

Amarah massa yang menjarah rumah-rumah elite menandai sebuah titik balik: negara kehilangan wajahnya — bukan sekadar sebagai otoritas, tetapi juga sebagai entitas yang bisa dicintai secara berimbang oleh rakyatnya.

Sri Mulyani menunjukkan keteguhan hati. Prabowo menjanjikan koreksi. Mahfud MD menjaga moralitas konstitusi. Namun, penjarahan rumah pejabat menuntut refleksi lebih jauh: bagaimana agar cinta itu bukan sekadar slogan, tetapi rekonsiliasi yang nyata?

Indonesia bisa pulih, tetapi hanya jika negara kembali mampu mencintai rakyatnya dengan adil, tegas, dan beretika—bukan hanya menuntut cinta, tetapi juga membuktikannya lewat kebijakan dan integritas yang menyatu dengan kata hati.

Bagikan Artikel Ini
img-content
deri adlis

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler